Makna “siapa Menyembah Muhammad…”
Sayyidina Abubakar mengusap air mata
dari kedua matanya yang mulia itu dengan tangannya. Lalu ia kembali
menyelimuti kain penutup wajah mulia Rasulullah SAW. Ia pun kemudian beranjak kepada keluarga Rasulullah SAW dan berusaha untuk menenangkan mereka.
Pada saat ia menangis dan mengatakan
kepada Rasulullah SAW bahwa beliau hidup dan wafat dalam kebaikan, saat
itu para wanita seisi rumah itu pun menangis. Abubakar RA kemudian
keluar dan ia melihat kembali betapa seisi masjid berada dalam kepiluan.
Kemudian ia menaiki mimbar kekasihnya,
tuannya, dan pemimpinnya, Rasulullah SAW. Langkah kakinya telah
membawanya ke mimbar itu. Maka, setelah memuji Allah SWT, bersalawat
atas Nabi, ia pun mengutip firman Allah SWT,”Setiap jiwa akan
mendapatkan kematian.” Ia juga membacakan ayat,”Dan tidaklah Muhammad
itu kecuali sebagai rasul dan telah berlalu para rasul sebelumnya.” Dan
ayat,”Sesungguhnya engkau mati dan mereka juga mati.”
Ia berkata lagi,”Siapa yang menyembah
Muhammad, Muhammad telah wafat. Siapa yang menyembah Allah,Allah itu
hidup dan tidak mati.”
Kalimat ini mengandung pemahaman yang
dalam. Pemahamannya bukanlah seperti pemahaman mereka yang jahil pada
saat ini, yang memahami kata-kata “Siapa yang menyembah Muhammad,
Muhammad telah wafat” sebagai putusnya hubungan dengan Nabi SAW.
Demi Allah, Tuhan Yang Disembah, makna
kalimat itu adalah siapa yang mengaitkan dirinya dengan kehidupan
Rasulullah SAW di dunia saja, kehidupan Rasulullah SAW telah berakhir.
Rasulullah telah wafat. Namun siapa yang menjadikan hubungannya dengan
Rasulullah SAW sebagai hubungannya dengan Allah SWT, Allah itu Mahahidup
dan tidak mati.
Jadi, dengan pengertian bahwa hubungan
kalian dengan Rasulullah SAW tidak akan pernah berakhir. Karena,
hubungan dengan Rasulullah SAW memiliki kaitan erat dengan hubungan
kepada Allah SWT, Yang Mahahidup. Kaitan ini adalah kaitan yang hidup
dan tidak pernah mati.
Kemudian Sayyidina Abubakar berpaling kepada Sayyidina Umar, menghiburnya dari kebimbangan yang ia rasakan.
Aroma Kesturi
Di rumah Rasulullah SAW, Sayyidina Ali
pun telah bangun setelah terjatuh lantaran kesedihan. Ia bersama
Sayyidina Abbas mengurus jenazah Rasulullah SAW. Kemudian, turut pula
bersama itu kedua putra Sayyidina Abbas, yaitu Abdullah dan fadhl.
Dibantu oleh mereka, Sayyidina Ali KW
memandikan jasad mulia Rasulullah SAW dengan pakaian yang masih beliau
kenakan tanpa membuka aurat beliau sedikit pun. Sayyidina Ali
mengatakan, “Kami memandikan beliau dan beliau masih mengenakan
pakaiannya. Saat kami hendak memiringkan beliau ke kanan, beliau
menghadap kekanan dengan sendirinya. Ketika kami hendak memiringkan
beliau ke kiri, beliau menghadap ke kiri dengan sendirinya. Kami tidak
mendapati seorang pun yang membantu kami untuk memandikan beliau,
kecuali jasad beliau sendiri yang berubah kedudukannya.”
Katanya lagi, “Ketika kami memandikan
beliau,angin yang sejuk dan nyaman bertiupan kearah kami seakan-akan
kami merasakan para malaikat masuk dan bersama dengan kami pada saat
itu, ikut memandikan jasad mulia Rasulullah SAW. Tidaklah ada air yang
jatuh dari jasad mulia baginda Rasulullah, melainkan ia lebih wangi dari
aroma kesturi. Kemudian, kami kafankan jasad beliau.”
Salah Satu Taman Surga
Di tempat lain, para sahabat saling bertanya,”Di manakah akan kita makamkan jasad Rasulullah SAW?”
Sebagian dari mereka ada yang mengatakan
agar jasad Rasulullah SAW dimakamkan di Baqi’. Imam Muslim dalam kitab
Ash-Shahih nya menyatakan, sebagian sahabat mengatakan agar beliau
dimakamkan di sisi mimbarnya, yaitu di dalam Masjid Nabawi.
Hal ini menjelaskan bahwa, ketika Allah
melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka
sebagai tempat sujud mereka, laknat tersebut bukanlah karena sujud di
suatu masjid yang ada kuburnya di dalamnya. Sebab, bila cara pandang
seperti itu benar, niscaya para sahabatlah yang terlebih dahulu memahami
akan hal tersebut, sebagai buah dari kehidupan mereka bersama
Rasulullah SAW.
Sampai kemudian Sayyidina Abubakar RA
mengatakan kepada para sahabat yang lainnya, “Sesungguhnya para nabi
dikuburkan di tempat mereka mengembuskan napasnya yang terakhir,
sebagaimana yang aku dengar dari sabda Rasulullah SAW.”
Maka digalilah lubang di dalam kamar
Rasulullah SAW sebagai tempat untuk menyemayamkan jasad suci beliau.
Kemudian turunlah Sayyidina Ali KW ke dalam lubang kubur Rasulullah SAW,
yang, demi Allah, tak lain merupakan salah satu taman dari taman-taman
surga. Selain Sayyidina Ali, ikut turun pula pembantu Rasulullah SAW
yang bernama Syaqran.
Syaqran berkata, “Aku melihat ke atas,
tempat yang pernah diduduki Rasulullah SAW. Hatiku pilu. Kini kami harus
meletakkan jasad Rasulullah SAW dalam kuburnya. Aku melihat ke atas
tempat duduk Rasulullah SAW. Aku mengambilnya. Aku pun berkata,
“Ya Rasulullah, tiada satu pun yang boleh duduk di atas tempat duduk ini selepasmu, wahai Rasulullah!.”
Sayyidina Ali pun memakamkan Rasulullah SAW dalam kubur beliau, bersama para sahabat yang terlibat saat pemakaman itu.
Sang Putri Menyusul
Ketika mereka telah bubar usai
pemakaman, datanglah Sayyidatina Fathimah Az-Zahra. Dialah yang tidak
ada kesedihan yang lebih mendalam melanda seseorang setelah kepergian
Rasulullah SAW selain yang dialami oleh putri Rasulullah SAW ini.
Dalam keadaan menangis, Sayyidatina
Fathimah melihat Anas bin Malik RA, pembantu ayahandanya, yang besar
dibawah asuhan Rasulullah SAW dan mendapat didikan Rasulullah SAW, di
rumah beliau itu. Kemudian ia berkata kepada Anas, “Ya Anas, engkau
sanggup meletakkan tanah di atas tubuh Rasulullah?”
Anas pun menangis, sambil mengatakan,
“Celakalah kami, celakalah kami, celakalah kami, wahai Fathimah.
Sesungguhnya kami tidak menyadari dengan apa yang kami lakukan. Kalaulah
kami telah mendengarkan terlebih dulu apa yang engkau katakan sekarang
ini, niscaya kami tidak akan sanggup mengebumikannya.”
Sayyidatina Fathimah pun berlalu, seakan
ia tak mengenali siapa pun yang ada disitu. Hatinya amat sedih karena
musibah yang menimpanya. Ia kemudian berdiri di sisi kubur ayahandanya
dan mengambil segumpal tanah, lalu menciumnya.
Dalam tangisannya, ia berkata, “Apa yang
dapat dirasakan si pencium tanah kubur Nabi Muhammad ini…. Tidak dapat
dirasakan pada selainnya sepanjang masa. Aku ditimpa musibah dengan
musibah yang jika musibah selainnya menimpaku setiap hari pun niscaya
tidak mengapa.”
Tidak sampai lima bulan setelah wafatnya
Rasulullah SAW, Sayyidatina Fathimah pun wafat. Fathimah adalah seorang
yang di gelari Ummu Abiha, Ibu dari Ayahnya (Karena sejak meninggalnya
Sayyidatina Khadijah, istri Rasulullah SAW, Sayyidatina Fathimah-lah
yang banyak mengurus keseharian hidup Rasulullah SAW).
“ Wahai Rasulullah….”
Sekarang, bagaimanakah keadaan kalian
semua, wahai para sahabat, selepas wafatnya Rasulullah SAW? Adakah
kalian memahaminya sebagai akhir dari kehidupan Rasulullah SAW?
Demi Allah, tidak demikian. Dugaan seperti itu benar-benar meleset.
Seperti yang disebutkan oleh Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam Fathul Bari jilid kedua pada kitab Memohon
Pertolongan, sebagaimana juga ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi,
Al-Hakim, dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih, Bilal ibn Harits
Al-Muzuni, salah seorang sahabat Nabi, datang berziarah ke makam
Rasulullah SAW. Saat itu musim paceklik tengah melanda,yaitu pada masa
pemerintahan Sayyidina Umar RA. Ia pun berdiri di sisi makam mulia
Rasulullah SAW dan berkata, “Ya Rasulullah….”
Perhatikanlah baik-baik, sahabat Nabi
ini mengatakan “Ya Rasulullah….” (Yaitu memanggil Rasulullah SAW secara
langsung, atau sebagai orang kedua).
“Ya Rasulullah. Banyak yang telah binasa, mohonkanlah air kepada Allah untuk umatmu.”
Karena mereka memahami bahwa Rasulullah
SAW hidup di dalam kuburnya. Beliau mendengarkan shalawat yang diucapkan
atas beliau, dan menjawab salam yang diucapkan kepada beliau. Beliaulah
yang telah bersabda,”Sesungguhnya para nabi itu hidup dalam kubur
mereka.”
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !