KH. Abdullah Faqih - Intisyarul Ulum
Headlines News :
Home » » KH. Abdullah Faqih

KH. Abdullah Faqih

Written By maslakhudin on Sabtu, 06 Juli 2013 | 17.28


Syaikhina KH Abdullah Faqih merupakan tipe kiai yang low profile. Beliau banyak berkiprah di balik layar daripada di garda depan. Hanya dalam kondisi-kondisi darurat beliau muncul dan –cepat-cepat- kembali ke pangkuan pesantren jika kadar darurat telah selesai.

Syaikhina lahir dari pasangan bahagia Kiai Rofi’I dan Nyai Khodijah. Bersaudarakan tiga, yaitu: Abdullah Faqih, Khozin, dan Hamim. Namun semenjak kecil, kepengasuhan berada di bawah KH Abdul Hadi Zahid, Pengasuh Pondok Pesantren Langitan generasi keempat. Ini terjadi lantaran Ayahanda beliau, Kiai Rofi’I (adik KH Abdul Hadi) wafat saat syaikhina kecil, kurang lebih ketika berusia tujuh atau delapan tahun, ini sebagaimana yang dikatakan KH Muhammad Faqih (putra syaikhina). Dan ibunya, Nyai Khodijah dinikah oleh KH Abdul Hadi Zahid. Semenjak itulah KH Abdul Hadi yang mengarahkan kehidupan, mulai mondok hingga berkeluarga. Beliau sendiri dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1932 M Ketiga bersaudara tersebut menjalani kehidupan kecil sebagaimana layaknya anak-anak.
Bermain bersama penuh canda-tawa dan tangis di satu kesempatan. Bedanya, mereka bertiga berada dalam suasana yang kental nilai-nilai religiuitas. Ini terjadi lantaran mereka berada dalam kepengasuhan kiai yang alim, KH Abdul Hadi Zahid. Waktu terus berjalan, lambat laun watak dan karakter ketiga bersaudara ini sudah mengalami perbedaan sedikit demi sedikit. Abdullah Faqih dan Hamim muda senang bergelut dengan kitab-kitab keagamaan sementara Khozin muda suka bepergian. Bahkan diriwayatkan beliau melancong dalam waktu yang lama dan sempat dicari-cari Ayahanda KH Abdul Hadi Zahid. Setelah ditemukan ternyata beliau berada di luar jawa dan sudah berkeluarga.Hingga kini beliau berkeluarga dan menetap di Bandung. Tinggal Syaikhina dan adik beliau Hamim yang masih asyik dengan pelajaran agama.. Setelah belajar pada Ayahanda, kini tiba saatnya Abdullah Faqih muda pergi mencari ilmu.
Pindah satu tempat ke tempat lain guna mencari ilmu dan kalam hikmah. Jika kita melihat kealiman syaikhina dalam membaca kitab dan memberikan fatwa, mungkin kita akan berpikir bahwa beliau mondok dalam waktu yang lama. Ternyata itu tidaklah tepat, beliau hanya mondok selama 4 tahun. Dalam sebuah kesempatan beliau pernah bercerita, “Di Lasem –mondok- dua setengah tahun, di Senori enam bulan, setelah itu satu bulan pindah ke pesantren lain. Total semuanya tidak lebih dari empat tahun”. Meski hanya empat tahun, namun konsentrasi dan usahanya dalam memperoleh ilmu sangat luar biasa. Tidak hanya sebatas pada usaha panca indera dengan membaca dan mengamati pelajaran, namun beliau juga menggunakan dasar batin. Selama mondok selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Dengan segala kekurangan dan keprihatinan beliau menjalani masa-masa di medan ilmu. Beliau pernah bercerita dalam sebuah pengajian, “Saya belajar di Lasem kurang lebih dua tahun setengah, kebanyakan bekal teman-teman saat itu bisa dapat 24-40 kg beras. Tapi bekal saya hanya dapat dibelikan 6 kg beras”. Beliau juga sempat dawuh, “Saya tidak pernah meminta tambahan kiriman. Saya niati tirakat meski awalnya terpaksa. Makan ketela saja pernah. Sementara yang paling sering sehari makan nasi ketan satu lepek dan kopi satu cangkir. Bahkan pernah dalam bulan Ramadhan tidak sahur dan buka, tapi cuma minum sebanyak-banyaknya”.
Kondisi prihatin ini diterima dengan ikhlash oleh syaikhina. Karena ini temasuk pembelajaran kesederhanaan dalam mengarungi kehidupan. Cara ini juga diterapkan beliau dalam mendidik putrera-puteranya. Namun dengan kondisi demikian, ilmu beliau bersinar. Menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman (dirasah islamiyah). Selama empat tahun, syaikhina muda telah mengambil ilmu dari para guru yang utama. Mereka pakar ilmu keislaman dan selalu istiqamah menjalankannya. Selama di Lasem beliau belajar kepada beberapa kiai, diantaranya: KH Baidhowi, KH Ma’shum, KH Fathurrohman, KH Maftuhin, KH Manshur, dan KH Masdhuqi. Sementara di Bangilan beliau belajar kepada para kiai dan diantaranya adalah KH Abu Fadhol. Kemudian beliau melanjutkan pengembaraan dengan ber-tabarruk ke pondok-pondok lain diantaranya di pesantren Watu Congol yang diasuh oleh KH Dalhar. Di pesanten ini pula pernah mondok Abuya Dimyathi, Pandeglang, Banten.
Selama mondok di Lasem, KH Ma’shum memiliki perhatian lebih kepada Abdullah Faqih muda. Puncaknya beliau dipinang menjadi menantu dapat Nyai Hunainah, putri persusuan (radha’) sekaligus kemenakan KH Ma’shum. Nasab Nyai Hunainah adalah binti Bisyri bin Martosuro bin Sumijo yang merupakan saudara Warijo (menurunkan KH Maimun Zubair). Semenjak kecil, Nyai Hunainah sudah difirasati oleh KH Makshum berbeda dengan saudara lain. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Kiai Munir, saudara Nyai Hunainah.
Mendapat lamaran sang kiai, Abdullah Faqih muda tidak langsung bersedia. Beliau masih ragu menerima pinangan itu. Bahkan di tengah-tengah suasana seperti ini sempat pulang ke Langitan. Sesampai di rumah beliau malah mendapat dawuh dari KH Abdul Hadi Zahid, “Ojo pilih-pilih tebu. Manuto opo seng didawuhno kiaimu” (Jangan pilih-pilih, ikutilah petunjuk kiaimu). Mendengar wejangan sang Ayah, baru syaikhina muda merasa mantab dan menerima pinangan.
Pada awal-awal pernikahan kehidupan masih berat. Maklum beliau menikah masih berstatus sebagai santri dan tentu belum memiliki persediaan nafkah keluarga. Namun kondisi ini dijalani dengan tabah dan sabar. Baru setelah punya beberapa anak kondisinya baru mulai tertata. Beliau sempat dawuh, “Sak wise aku duwe anak mujab uripku wes mulai ketoto sak durunge masyaqot”,
Beliau bersama Nyai Hunainah dikaruniai dua belas putra-putri yang kelak menjadi penerus perjuangan ayah ibundanya dalam menegakkan panji-panji Islam. Kedua belas putra-putri beliau adalah 1. KH Ubaidillah Faqih (beristrikan Nyai Hj, Faridah Sarang Rembang) 2. Agus Rofiq (meninggal usia kecil) 3. KH Muhammad Faqih (beristrikan Nyai Hj. Elok Faiqoh Cirebon) 4. Agus H Mujab Faqih (alm) (beristrikan Neng Anisah Gresik) 5. Agus H Mujib Faqih (meninggal di Makkah Al Mukarromah) 6. KH Abdullah Habib Faqih (beristrikan Ning Hj. Nailatul Muna Kediri) 7. Ning Salamah Faqih (diperistri Ust. H. Ahsan Ghozali Gresik) 8. Ning Hanifah Faqih (diperistri KH. Qohwanul Adib Mc Purwodadi) 9. KH Abdurrahman Faqih (beristrikan Ning Hj. Tuhfatul Mardliyah Mranggen Demak) 10. Neng Zaimah (meninggal usia kecil) 11. Agus H Machshoem Faqih (beristrikan Neng Faiz Inayati Ploso Kediri) 12. Ning Hj Amiroh Faqih (diperistri Ust. Saiful Barri Pekalongan)
Setelah kembali ke Langitan, Syaikhina muda langsung ikut mengabdi ke pesantren. Saat itu beliau dikenal dengan sebutan Gus Faqih. Beliau aktif mengajar dan mulai ikut menata keberadaan pondok. Dalam pengabdiannya, beliau pernah menjadi lurah pondok dan banyak memberikan warna dalam pemikiran serta pengembangan pesantren.
Gus Faqih dikenal disiplin. Rajin terjun langsung ke kamar-kamar asrama untuk mengajak belajar, musyawarah, dan shalat malam. Begitu pula dalam ketertiban suasana, beliau cinta kebersihan sehingga kondisi pondok yang tidak bersih akan mendapat perhatian serius beliau. Dalam masalah ketertiban keamanan beliau juga sangat perhatian. Suatu saat, Gus Faqih mengamati prilaku santri yang melanggar keluar pondok tanpa izin pengurus. Ternyata para santri itu keluar malam dengan bantuan perahu menuju Babat. Gelagatnya tercium oleh Syaikhina. Sekedar infromasi, dahulu jembatan di atas brlum jadi sehingga jika mau ke babat harus lewat tambangan. Saat itu Beliau mendahulu duduk diatas perahu kemudian menutup (ngrukupi, jawa) tubuhnya dengan sarung, ketika perahu sudah berjalan, ditengah-tengah beliau membuka sarung dan semua sontak terkaget-kaget. “Ayo podo ate nandi kabeh. Podo melanggar yo. Balik!. Tak aturno Bapak (KH Abdul Hadi Zahid) engko” (Ayo pada mau ke mana semua. Pada melanggar ya. Balik!. Nanti saya laporkan Bapak). Semua santri ketakutan, bahkan ada santri yang kemudian takut dan bersembunyi sampai kuburan desa sebelah, Selawe. Ketakutan ini pun ada yang bertahan sampai berhari-hari di sana. Rasa itu mereda biasanya setelah KH Abdul Hadi Zahid menyuruh mereka untuk balik lagi ke pesantren.
Selain mendapat tugas dalam, KH Abdul Hadi mengutus kepadanya untuk berdakwah keluar. Mengisi pengajian-pengajian agama kepada masyarakat. Dengan bekal ilmu dakwah dan retorika secara autodidak, ternyata gaya pidato beliau banyak disukai masyarakat. Beliau memiliki bahasa yang santun dan berisi. Banyak orang simpati dengan model pidatonya. Cara mengarahkan yang halus dan kritiknya masih mengedapankan bahasa budi sehingga orang yang dikritik merasa tidak direndahkan.
Waktu demi waktu nama Gus Faqih semakin berkibar di atas mimbar. Beliau dikenal kalangan luas. Hingga semua berubah ketika datang nasehat dari salah satu gurunya. “Hidup ini pilihan Qih (maksudnya Abdullah Faqih). Jika engkau memilih jadi dai kemungkinan engkau akan menjadi orang yang tenar dan dikenal banyak orang tapi tidak punya generasi. Setelah mati maka sirnalah engkau. Namun jika engkau mau merawat pesantren, meski tidak begitu terkenal namun akan memiliki banyak generasi. Hidup adalah pilihan”.
Ungkapan sang guru di atas sangat membekas di hati syaikhina muda sehingga beliau mulai menjaga jarak dengan mimbar. Beliau lebih banyak mencurahkan tenaga dan pikirannya di pesantren Langitan. Dan puncaknya adalah tahun 1971 M ketika Ayahanda tercinta kapundut. Beliau hampir tidak pernah menerima undangan pidato kecuali pada acara-acara penting dan berada di luar jam mengajar pesantren.
Sebagai seorang gus yang ditinggal sang kiai, maka beliau ketiban amanat yang berat. Meneruskan pesantren besar dengan segala pernak-perniknya. Saat itu kepengasuhkan ditangani dua kiai, yaitu beliau dan KH Ahmad Marzuqi, sang paman. Dengan mengasuhnya Syaikhina di pesantren, maka ide-ide besar dan baru terus dilakukan. Diantara gagasan beliau adalah merumuskan empat pilar kepengurusan pesantren, yaitu: Majelis Idarah, Majelis An-Nuwwab, Majelis Tahkim, dan Majelis Amn. Majelis pertama memiliki peranan yang vital, ia merupakan badan pelaksana dari penanggung-jawab keseharian kegiatan pesantren.
Majelis kedua merupakan badan perundang-undangan yang berfungsi sebagai perumus aturan, penafsir aturan, dan penelaah ulang. Dalam setiap penetapan aturan, telah diatur dalam mekanisme yang sistematis. Produk undang-undang paling tinggi diputuskan dalam sidang Umum yang digelar saat pergantian pengurus. Sidang ini dihadiri oleh seluruh elemen pesantren.
Majelis ketiga adalah badan peradilan. Melaksanakan sidang-sidang pelanggaran santri. Setiap santri yang melanggar tetap memiliki hak untuk dibela. Dalam sidang inilah akan diputuskan apakah santri yang berstatus tersangka benar-benar layak dijatuhi hukuman ataukah tidak. Keputusan tidak berdasarkan suka atau tidak suka, namun berdasarkan barang bukti dan saksi-saksi. Berawal dari amar dakwaan dan berakhir dengan amar putusan.
Majelis keempat adalah badan keamanan dan ketertiban. Berfungsi sebagai stabilisator keadaan pesantren agar tetap aman, damai, dan kondusif. Untuk mencapai tujuan itu, banyak hal yang dilakukan, diantaranya: mengatur jadwal kepulangan santri, mengajukan dakwaan kepada Majelis Tahkim atas santri yang melanggar, mengontrol ketertiban kegiatan pesantren, dan lain sebagainya.
Jika dikomparasikan dengan teori trias politika, maka konsep Syaikhina bisa diterjemahkan bahwa Majelis Idarah menempati posisi lembaga eksekutif, majelis An-Nuwwab menempati posisi lembaga legislatif, dan Majelis Tahkim menempati posisi lembaga yudikatif. Dan beliau telah menambah satu perangkat penting yaitu posisi lembaga Kamtib yang jamak berlaku di bawah lembaga eksekutif. Ijtihad organisasi seperti ini tentu sah-sah saja dilakukan karena pada dasarnya konsep manajemen bermuara pada efektifitas kinerja. Dengan adanya Kamtib sejajar dengan majelis lain memang lebih cocok dengan kondisi pesantren Langitan.
Meski demikian sebagai pesantren tentu keempat lembaga di atas tidak memiliki otoritas absolut. Karena dalam tradisinya, keempat majelis di atas berfungsi sebagai kepanjangan tangan (khadam) dari pengasuh atau majelis masyayaikh. Majelis ini memiliki otoritas penuh untuk memutuskan berbagai hal dengan pertimbangan-pertimbangan yang lebih maslahah.
Di era kepengasuhan keempat atau dibawah bimbingan KH Abdul Hadi Zahid, pesantren langitan memiliki murid sekitar 400-500-an santri. Madrasah yang tersedia saat itu adalah madrasah putra dengan nama al-Falahiyyah. Kemudian pada kepengasuhan Syaikhina, dibentuklah madrasah putri al-Mujibiyyah. Keterangan ini sebagaimana yang disampaikan oleh KH Abdullah Munif Marzuqi, beliau mengatakan, “Madrasah al-Mujibiyyah adalah madrasah putri pertama di Langitan. Dulu merupakan gabungan dari pondok kulon (berada di bawah asuhan syaikhina), pondok tengah (di bawah asuhan KH Abdul Hadi Zahid) dan pondok wetan (berada di bawah asuhan KH Ahmad Marzuqi). Namun seiring bertambahnya jumlah santri, maka kemudian pondok wetan mendidikan sendiri dengan nama Madrasah Putri ar-Raudhah”.
Madrasah al-Mujibiyyah hingga kini telah memiliki lembaga pendidikan mulai dari Pendidikan Usia Anak Dini (PAUD), Madrasah Ibtidaiyyah, Madrasasah Tsanawiyyah, Madrasah Aliyah, dan Program Pasca Aliyah. Semua lembaga ini memiliki tujuan yang sama, yaitu menciptakan generasi yang alim, shaleh, dan kafi. Alim dalam artian memahami dengan baik ilmu-ilmu agama, shaleh berarti mengamalkan ilmu, dan kafi berarti memiliki perangkat yang cukup dalam mengembangan dan mentransformasikan keilmuan dalam dinamika kehidupan. Meski memiliki pesantren besar dengan berbagai kegiatan namun tidak menghalangi Syaikhina untuk melakukan perubahan sosial. Beliau selalu mengikuti perubahan yang terjadi di masyarakat. Contohnya pada masa pra reformasi. Melihat perkembangan dinamika social dan politik yang tidak menentu pada krisis ekonomi pada tahun 1998 M, syaikhina tergerak hati mengumpulkan para ulama guna menyikapinya.
Saat itu beliau menggandeng Rabithah Ma’ahid Islami (RMI) dengan menghasilkan rumusan meminta dengan hormat kepada Presiden Republik Indonesia -yang saat itu dijabat Bapak Soeharto- untuk turun dari jabatan. Meski pada akhirnya hasil pertemuan itu di ekspos media dan sempat menjadi pembicaan hangat tokoh-tokoh nasional. Bola panas terus menggelinding dan puncaknya pada tahun 1999 M. saat pemilihan umum. Saat itu terjadi benturan dua kekuatan besar, yaitu partai pemenang pemilu dan partai berkuasa. Masing-masing partai mengeklaim akan terjadi prahara jika tidak dari partai mereka yang menjadi presiden.
Lalu muncul poros tengah yang mengusulkan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) menjadi presiden. Untuk menerima lamaran itu, Gur Dur meminta restu kepada Syaikhina dan kiai-kiai sepuh lain yang bergabung dalam “Poros Langit”. Awalnya beliau merasa berat melepaskannya, namun karena memang kondisi yang menuntut demikian maka dengan segala pertimbangan Syaikhina pun memberikan restu. Dan dalam perkembangan selanjutnya, fatwa-fatwa Syaikhina menjadi rujukan penting bagi presiden RI yang saat itu di jabat oleh Gus Dur. Meski banyak menghabiskan usia di tanah air, namun tidak menghalangi Syaikhina membangun jaringan intelektual internasional. Entah sudah berapa ulama atau cerdik-cendikia yang datang ke Langitan untuk memberikan ijazah kitab-kitab atau ceramah keilmuan. Itu menunjukkan betapa Syaikhina memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi di mata mereka. Meski jarak yang jauh, namun hubungan mereka sangat dekat.
Diantara nama ulama yang menjalin hubungan dengan beliau adalah: Syaikh Yasin al-Fadani (asli Indonesia namun bermukim di Makkah Mukarramah), Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani, Habib Salim as-Sathiri (Yaman), Habib Umar bin Salim (Yaman), Syaikh Prof. Dr. Sholahuddin Kaftaru (Syiria), Syaikh Habib Zain bin Smith (Madinah), Habib Baharun (Yaman), Syaikh Kadzim, dan lain sebagainya. Syaikhina sangat hormat kepada ahli ilmu. Bahkan pernah diriwayatkan, Sayyid Muhammad bin Alwi berkata, “Aku tidak pernah melihat ahlu jawa yang hormatnya melebihi Syaikh Abdullah Faqih. Dan begitu pulalah sebaliknya aku. Dia memiliki posisi tersendiri dalam hatiku”.
Nama besar Syaikhina di dunia intelektual tidak diragukan lagi. Oleh karenanya, banyak santri Langitan yang mendapat kemudian belajar di manca Negara karena nama besar beliau. Hingga kini masih banyak santri Langitan yang berhasil menimba ilmu di luar negeri, terkhusus kawasan timur tengah sebagai pusat keilmuan dan peradaban islam dunia. Bukan hanya itu, beberapa bulan lalu ada tamu yang datang dari Lebanon. Ia datang ke Indonesia karena perintah gurunya supaya ia belajar kitab Asybah wan Nadzair di hadapan Syaikhina. Dan dengan penuh rasa ikhlash beliapun memenuhi permintaan itu.
Sudah sunnatullah, semakin bertambahnya usia seseorang maka semakin melemah pulalah fungsi tubuh. Begitu pula dengan Syaikhina. Di usianya yang kedelapan puluhan tahun kondisinya melemah apalagi beliau mempunyai aktifitas yang luar biasa padat, berjama’ah lima waktu beserta aurad bersama santri, mengajar kitab, menerima tamu setiap hari, menghadiri undangan-undangan dan lain sebagainya. Meski sudah tiga hari merasa kurang enak, tapi masih idkhalus surur (memberi rasa gembira) dengan menerima tamu di kediaman. Pagi itu, sehabis menyelesaikan bacaan-bacaan wirid ada beberapa tamu yang sowan. Dengan wajah yang penuh santun dan senyum beliau mempersilahkan mereka. Beberapa waktu kemudian masuk ke ruangan pribadi yang bertempat persis di sebelah ruang tamu. Setelah agak lama, kemudian salah satu keluarga ada yang mengetahui bahwa beliau terjatuh di dalam. Kebetulan kepala beliau terbentur benda tumpul sehingga mengalami pendarahan di belakang telinga. Saat itu, semua orang jadi panik karena belum pernah di usia sepuh, Syaikhina terjatuh dan pendarahan seperti itu. Keluarga cepat-cepat membawa ke Balai Pengobatan Babat untuk menerima pengobatan secepatnya. Dari hasil sementara, luka tersebut sebatas luka luar dan tidak membahayakan. Namun karena faktor usia, kondisi beliau semakin melemah. Kemudian dilarikan ke Graha Amerta Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya yang sebelumnya transit di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan. Di Graha Amerta dirawat kurang lebih selama satu bulan setengah.
Mengenai kepulangan, sebenarnya beliau masih diminta dirawat di Graha Amerta. Namun karena kerinduan beliau kepada pesantren dan para santri sehingga para tim dokter pun memperbolehkan beliau pulang sambil mengikuti terapi gerak dan didampingi perawat serta dokter pribadi. Setiba di pesantren beliau sangat senang sekali bisa bertemu para keluarga dan santri. Bahkan beberapa hari kemudian beliau melihat langsung pengajian mingguan kitab Shahih Bukhari dan Ihya Ulumiddin yang biasa beliau asuh. Pengajian ini diikuti ribuan alumni dan kiai sekitar pesantren. Saat peninjauan ini, banyak sepasang mata terhanyut. Menyaksikan guru mereka yang sudah cukup sepuh namun memiliki perhatian yang luar biasa kepada ilmu dan santri. Tidak sedikit dari sepasang mata menahan air yang meleleh bahkan banyak pula yang tidak mampu menahannya. Beliau yang tergolek lemas di atas kursi roda dengan didampingi para putra, abdi dalem, dan tim dokter. Namun semangat beliau untuk bisa hadir diantara para murid sungguh luar biasa. Ada rasa yang membuncah diantara hati para santri dan alumni. Ingin sekali bergerak mendekati beliau dan sungkem seperti kondisi sehat. Tangan-tangan dikepalkan dan kaki-kaki hendak bergerak, hingga mereka sadar bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan. Setelah peristiwa itu hanya sekali sebelum akhirnya beliau pergi untuk selamanya. Sebelum kepergiannya, kondisi batin beliau jauh lebih baik dari sebelum sakit. Daya ingatan beliau meningkat berlipat-lipat dari biasanya. Dalam kondisi itu, beliau sering mengutus kepada putra-putra untuk membaca kitab dan ditashih kebenarannya. Begitu pula beliau sering mengeluarkan gurauan-gurauan kecil kepada keluarga atau penjaga beliau untuk memecah kesunyian suasana. Meski dalam kondisi yang berat beliau masih menyempatkan menghibur. Menjelang kewafatan, Syaikhina sering bermimpi bertemu Rasulullah. Bahkan mimpi ini pernah disampaikan kepada Habib Mundzir al-Musawwa, Pimpinan Majlis Rasulullah, Jakarta. Dalam sambutannya di depan para santri usai membesuk Syaikhina, murid Habib Umar bin Salim Yaman itu mengatakan, “Saya tadi membesuk Ayahanda, Guru Besar kita, Hadratus Syaikh KH Abdullah Faqih. Beliau bercerita diperintahkan memanjangkan jagut oleh Rasulullah Saw. ini menandakan betapa beliau sangat dekat dengan rasulullah Saw. sampai hal-hal sekecil itu mendapat perhatian”.
Begitu pula Syaikhina di akhir hayat senang sekali membaca shawalat. Meski selain itu juga melanggengkan wiridan laqad jaa akum. Bahkan wasilah wirid “laqad jaa akum” selama empat puluh tahun itulah beliau bertemu dengan Rasulullah Saw. Selasa, tanggal 28 Februari 2012 M. seolah telah menerima pesan dari Langit akan tiba waktunya menghadap. Syaikhina berkunjung ke rumah putra-putra dan mengumpulkan sanak kerabat dengan memberi hadiah. Bagi orang-orang yang memahami dunia metafisik, itu namanya ziarah pamitan. Sehari kemudian, Rabu, 29 Februari 2012 M. usai Shalat Maghrib sekitar pukul 18.30 Wib. Malaikat Izrail datang menjemput. Keluarga tidak menyangka akan secepat itu, karena sehari sebelumnya beliau mengutarakan telah benar-benar sehat dan ingin segera berziarah kepada Rasulullah Muhammad Saw. Sosok mulia yang pernah mendatangi beliau.
Bumi berduka karena perginya ulama penuh kharisma, meninggalkan jutaan umat. Kabar langsung tersebar melalui pesan antar mulut, sms, hingga pada dunia maya. Para ulama, umara dan masyarakat berbondong-bondong mengantarkan tokoh spiritual bangsa menuju peristirahatan terakhir. Selamat jalan Syaikhina, selamat bertemu kekasihmu, Rasulullah Muhammad Saw. Setelah kepergian Syaikhina, mata rantai kepengasuhanpun diamanatkan kepada para putra beliau dan seluruh keluarga besar Pondok Pesantren Langitan dalam bingkai Majelis Masyayekh Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban Jawa Timur.
Adapun struktur kepengasuhan pesantren saat ini adalah sebagaimana berikut :
MAJELIS MASYAYEKH
  1. KH. Abdullah Munif Mz (Penasehat)
  2. KH. Ubaidillah Faqih (Penasehat)
  3. KH. Muhammad Ali Marzuqi (Anggota)
  4. KH. Muhammad Faqih (Anggota)
  5. KH. Abdullah Habib Faqih (Ketua I)
  6. KH. Abdurrahman Faqih (Ketua II)
MAJELIS A’WAN
  1. KH. Qohwanul Adib MC. (Ketua I)
  2. H.A. Macshoem Faqih (Ketua II)
  3. H. Ahsan Ghozali
  4. H.A. Adib Rohmat
  5. Ust. Abdurrahman Syafi’i
  6. Ust. Miftahul Munir
  7. Ust. Saiful Barri
  8. Agus M. Muhtar Humaidi
  9. Agus Mahrus Hamim
  10. Agus Imron Humaidi
  11. H.A. Ahmad Alawi bin KH. Ubaidillah Faqih
  12. Agus Muhammad bin KH. M. Ali Marzuqi



Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

could

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Intisyarul Ulum - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template