Al-Imam Quthb Al-Anfas Al-Habib Umar bin Abdurrah­man bin Aqil bin Salim bin Abdullah Al-Aththas - Intisyarul Ulum
Headlines News :
Home » » Al-Imam Quthb Al-Anfas Al-Habib Umar bin Abdurrah­man bin Aqil bin Salim bin Abdullah Al-Aththas

Al-Imam Quthb Al-Anfas Al-Habib Umar bin Abdurrah­man bin Aqil bin Salim bin Abdullah Al-Aththas

Written By maslakhudin on Minggu, 01 Desember 2013 | 00.06


“Kalau engkau tidak dapat menyenangkan anak kecil dengan memberi sesuatu, maka berikan kepada mereka meskipun sebuah batu kerikil berwarna merah, agar mereka bergembira.”.

Namanya tak bisa dipisahkan dari bacaan dzikir yang dinamainya ‘Aziz al-Manal wa Fath Bab al-Wishal (Pem­berian yang Agung dan Pembuka Pintu Pencapaian Hubungan Kepada Allah). Kumpulan bacaan dzikir yang di­sebut ratib ini, dianjurkan dibaca ba’da Isya bagi yang ingin memulazamah­kan­nya. Sang penyusunnya berwasiat, “Ra­hasia dan hikmah telah kutitipkan di da­lam ratib itu.” Tradisi  pembacaan ratib ini, selain biasanya dibaca selepas Isya, biasanya juga dibaca antara setelah Maghrib hingga menjelang Isya di bulan Ramadhan. Ratib ini boleh juga dibaca se­tiap pagi, siang, atau tengah malam, baik sendiri maupun berjamaah, bagi yang berkeinginan mem­peroleh kebajik­an.
Ketermasyhuran ratib ini memang ber­kait erat dengan sosok Al-Imam Quthb Al-Anfas Al-Habib Umar bin Abdurrah­man bin Aqil bin Salim bin Abdullah Al-Aththas, sehingga ratib ini lebih masyhur dengan sebutan Ratib Al-‘Aththas. Habib Umar Al-‘Aththas, sang empu ratib yang masyhur ini wafat di bulan Rabiul Akhir, sehingga untuk mengenangnya, almanak edisi ini memuat sedikit dari manaqibnya yang penuh dengan taburan hikmah.

Bersin dalam Kandungan
Lengkapnya, nasab Habib Umar Al-‘Aththas adalah Umar bin Abdurrahman bin Agil bin Salim bin Ubaidillah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Syaikh Al-Ghauts Abdurrahman As-Saggaf bin Muhammad Mauladawilah bin Ali bin Alawi Al-Ghayur bin Sayyidina Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Imam Muhammad Shahib Mirbath bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad An-Naqib bin Imam Ali Al-‘Uraidhi bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husein As-Sibth bin Imam Ali bin Abi Thalib dan ibn Al-Batul Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Rasullullah SAW.
Habib Umar dilahirkan pada 992 H/1572 M di Desa Lisk, dekat kota Inat, Hadhramaut. Inat merupakan salah satu daerah kuno di provinsi Hadhramaut. Ti­dak diketahui pasti kapan daerah ini mulai dihuni manusia. Akan tetapi ditemukan sejumlah prasasti dan tulisan yang mem­perkuat pendapat bahwa Inat merupakan daerah tua, dan telah dihuni manusia sejak ratusan abad yang lalu.
Inat, negeri kelahiran Habib Umar, terletak sekitar 15 KM sebelah timur kota Tarim, di lembah Boha, di kaki gunung Syiryan. Sejak Syaikh Abu Bakar bin Salim menginjakkan kakinya di Inat pada Abad ke 9 H, Inat yang merupakan dae­rah terbelakang, berbalik menjadi daerah penting, dan menjadi salah satu pusat keilmuan di Hadhramaut saat itu. Banyak pelajar dari berbagai daerah di luar Hadh­ramaut datang ke Inat untuk menimba ilmu pengetahuan. Hingga saat ini Inat dengan masjid-masjid tua dengan arsi­tektur klasiknya, kubah makam para sha­lihin, serta rumah peninggalan Syaikh Abu bakar bin Salim menjadi salah satu tujuan para peziarah dari berbagai ne­gara.
Kembali kepada sosok shahibul haul ini, dialah yang mula-mula mendapat julukan Al-‘Aththas, yang artinya orang yang bersin. Konon dalam suatu riwayat, ketika masih berada dalam kandungan ibundanya, Syarifah Muznah binti Mu­ham­mad Al-Jufri, janin Umar sering ber­sin. Acapkali bersin, suara bersinnya ter­dengar hingga di bagian luar kandungan ibunya. Itulah yang menjadi pertanda per­tama karamah yang ada padanya.
Kata Al-Faqih Abdullah bin Umar Ba’ubad, “Ia dinamakan Al-‘Aththas yang artinya yang bersin, karena ia pernah ber­sin ketika masih berada di dalam perut ibunya”.
Habib Ali bin Hasan Al-Aththas ber­kata, “Sebenarnya apa yang diucapkan Syaikh Al-Faqih Abdullah bin Umar Ba’ubad adalah benar. Hanya saja me­nurut kabar yang paling benar, dikatakan bahwa yang pertama kali bersin ketika masih berada di perut ibunya adalah Habib Aqil. Cuma yang terkenal Habib Umar bin Abdurrahman Al-‘Aththas, se­hing­ga berita itu hanya dikenal pada diri­nya, anaknya, dan anak cucu Aqil dan Ab­dullah, saudaranya. Sedangkan anak cucu Sayyidina Aqil bin Salim yang lain di­kenal dengan nama keluarga Aqil bin Salim”.
Habib Ali bin Husein Al-Aththas me­nyebutkan di dalam kitabnya Ta’j al- A’ras, bahwa di Makkah pernah didengar suara bersin dari anak yang masih di da­lam perut ibunya. Tentunya kejadian itu termasuk kejadian karamah yang diakui oleh kalangan Ahlussunnah, sebagai­mana yang disebutkan di dalam kitab-kitab Tauhid dan Aqaid mereka beserta dalil-dalilnya yang terkenal yang bersum­ber dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Meski sejak kecil ia sudah kehilangan penglihatan, Allah SWT menerangi kalbu­nya, sehingga ia mampu menyerap de­ngan baik segala pengetahuan tentang agama yang diajarkan oleh ayahanda­nya, Al-Imam Abdurrahman bin Aqil. Se­ma­ngat belajarnya memang sangat besar.
Habib Umar berguru kepada orang-orang yang pernah berguru kepada Say­yidina Syaikh Abu Bakar bin Salim, ter­utama dari putra-putranya, yakni Habib Muhdhar, Habib Husain, dan Habib Ha­mid. Selain itu Habib Umar juga pernah berguru kepada Habib Muhammad bin Abdurrahman Al-Hadi, Sayyid Umar bin Isa Barakwah As-Samarkandi Al-Magh­ribi yang dimakamkan di desa al-Ghurfah.  Sementara guru utama yang paling ia hormati ialah Habib Husain bin Syaikh Abubakar bin Salim.
Sejak kecil, Habib Umar telah tekun beribadah dan hidup zuhud.  Ia sering ke kota Tarim dari dusunnya Lisk, dan me­lakukan shalat dua rakaat di setiap masjid yang ada di kota Tarim, bahkan kadang menimba air dari sumur untuk mengisi kolam-kolam masjid.
Ia banyak belajar tasawuf, terutama dari Syaikh Umar bin Isa Barakwah As-Samarqandi. Setelah merasa cukup menuntut ilmu, ia membuka ta’lim dengan mengajarkan ilmu agama. Dakwahnya pun menyebar ke segenap penjuru Hadh­ramaut.
Al-Habib Umar juga sering mengun­jungi Syaikh Al-Kabir Ahmad bin Shahal bin Ishaq al-Hainani. Selain itu, ia sangat erat hubungannya dan selalu mengun­jungi Habib Abu Bakar bin Abdurrahman bin Syihab dan Syaikh Abdullah bin Ahmad Al-Afif dan Syaikh Ahmad bin Abdul Qadir Ba’syin, Shahib Rubath. Ia pun sering mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad Balfaqih, Shahib Qaidun. Selain itu, ia gemar mengunjungi orang-orang shalih dari Ahlul Bayt maupun dari keluarga Masyaikh dan orang-orang yang saleh lainnya.
Belakangan ia dikenal sebagai se­orang sufi yang banyak menguasai ilmu lahir dan batin, pengayom anak yatim piatu, janda, dan fakir miskin. Siang meng­ajar, malamnya ia gunakan untuk melakukan riyadhah, beribadah, bermu­najat kepada Allah SWT, dan sangat ja­rang tidur.
Akhlaq dan Ilmunya
Al-Habib Umar Al-‘Aththas dikenal se­bagai seorang alim, amil, quthb, ghauts, seorang tokoh sufi, suci, suka memenuhi janji, murabbi, rabbani, da’i,  menghimpun ilmu lahir dan bathin. Ia dikenal sebagai pelindung kaum fakir, janda, serta anak-anak yatim. Ia senantiasa menyambut dan menggembirakan orang-orang faqir, mereka dimuliakan dan didudukkan pada tempat yang mulia, sehingga mereka sa­ngat mencintainya. Ia mempunyai kedu­dukan yang sangat tinggi, tapi amat ta­wadhu’ dan merendahkan dirinya, karena muraqabah (merasa diawasi oleh Allah) yang ada pada di dirinya.
Habib Umar tidak pernah tidur pada bagian separuh terakhir di malam hari, kecuali menghabiskan waktu malamnya untuk mengulang-ulang bacaan doa Qu­nut. Ia amat sabar dalam menghadapi berbagai krisis, tidak pernah menyom­bong­kan diri kepada seorangpun, mau duduk di tempat mana saja tanpa mem­bedakan tempat yang baik atau jelek, dan tidak pernah menempatkan dirinya di tempat yang lebih tinggi atau tempat yang menonjol. Kalau ia meninggalkan majelis­nya karena ada hajat, lalu ketika kembali ke tempat duduknya dan didapati tempat duduknya telah diduduki orang lain, maka ia akan mencari tempat duduk lain. Ia pun tidak pernah mendekati kaum penguasa.
Ia senantiasa bergembira dan terse­nyum kepada semua kalangan, baik ter­hadap anak-anak kecil maupun orang de­wasa, sampai setiap orang merasa bah­wa dirinya sebagai kaum kerabatnya. Ia senantiasa menyambut dengan baik se­mua orang menurut kebutuhannya ma­sing-masing, dan selalu sabar meskipun menghadapi banyak persoalan dari me­reka. Semua orang disayangi dan di­santuni olehnya. Ia suka berwasiat untuk menyenangkan anak-anak kecil, seba­gai­mana perkataannya, “Kalau engkau tidak dapat menyenangkan anak kecil dengan memberi sesuatu, maka berikan kepada mereka meskipun sebuah batu kerikil berwarna merah, agar mereka ber­gembira.”.
Habib Ali bin Husein Al-‘Aththas me­nyebutkan dalam kitabnya, bahwa Habib Umar bin Abdurrahman Al-‘Aththas telah berbeda pendapat dengan ahli Fiqih da­lam tiga masalah. Pertama, Habib Umar berpendapat untuk menaruh jenazah di ujung kepala liang lahad dan jika jenazah se­dang diturunkan ke liang lahad hendak­nya kedua kakinya diturunkan lebih da­hulu. Kedua, Habib Umar berpendapat bahwa seseorang tidak harus berniat ketika ia menjadikan tangannya sebagai wadah, untuk mengambil air wudhu (niat Ightiraf), meskipun menurut pendapat ahli fiqih orang itu diharuskan berniat. Kalau tidak maka airnya menjadi musta’mal. Adapun yang dipakai alasan Habib Umar, seorang yang mengambil air ketika hen­dak berwudhu, maka ia tidak mencuci tangannya ke dalam tempat air, karena itu tidak perlu berniat. Ketiga, Habib Umar berpendapat bahwa seseorang diboleh­kan mengeluarkan zakat kurma ketika buah kurma itu masih basah (ruthab), meskipun para ulama tidak membolehkan cara yang demikian itu. Alasan Habib Umar adalah buah kurma yang masih ba­sah lebih disenangi orang-orang miskin, daripada buah kurma yang sudah kering.
Disebutkan juga Habib Umar meng­an­jurkan orang melakukan shalat Ghaib setelah selesai mengerjakan shalat Jum’at. Adapun waktunya adalah setelah imam menutup shalatnya dengan salam dan setelah berzikir. Lalu kemudian di­umumkan untuk melakukan shalat Ghaib bagi mereka yang telah meninggal dari segenap umat Islam. Tradisi macam ini tetap dilakukan penduduk desa Hu­raidhah dan desa-desa lainnya, yang per­nah mendengar fatwa Habib Umar bin Abdurrahman Al-‘Aththas.

Isyarat Ajal
Disebutkan bahwa Habib Umar Al-‘Aththas pernah memberitahukan telah dekat ajalnya, dengan berupa isyarat-isyarat yang dapat dimengerti, tetapi ada pula yang terang-terangan. Disebutkan bahwa ketika ia ditanya seseorang pada umur berapa ia akan wafat, maka ia meng­isyaratkan pada usia 80 tahun. Ke­nyataannya memang demikian. Berita tersebut pernah disampaikan oleh Habib Abdullah, putranya.
Disebutkan pula, ketika ia bertemu dengan tokoh-tokoh Ba’alawy seperti Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, Habib Ahmad Bin Hasyim, dan Habib Isa bin Muhammad Al-Habsyi di desa Sad­beh, ia sempat memberi pesan-pesan terakhir bagi mereka dengan mengata­kan, “Mungkin saat ini adalah pertemuan terakhir dengan kalian di dunia, aku akan menemui kalian kelak”. Kemudian ia me­ninggalkan desa Sadbeh menuju desa Nafhun. Tidak lama setelah ia tiba di desa itu, kemudian ia wafat.
Di waktu menjelang saat wafatnya, Habib Umar mengulang-ulang mengu­cap­kan bait puisi:
“Wajah kekasihku adalah tatapanku, aku senantiasa menghadapkan wajahku kepada-Nya. Cukuplah dia sebagai kib­latku dan aku pun pasrah diri kepada-Nya”.
Putranya, Habib Husein, berkata bah­wa sebelum tiba saat wafatnya, Habib Umar sempat mengulang firman Allah, yang artinya, “Katakanlah (hai Muham­mad) kepada hamba-hamba-Ku yang telah menzhalimi dirinya, janganlah kalian berputusasa dari rahmat Allah. Sesung­guhnya Allah berkenan memberi ampun se­luruh dosa-dosa, dan sesungguhnya Dia Maha Pemberi Ampun dan Maha Penyayang”.
Ketika sedang menghadapi saat-saat terakhir, ia menyuruh orang-orang yang ada di sekitarnya untuk berzikir di sisinya dengan suara keras, sehingga terdengar seperti gaungnya tawon. Ia mengem­bus­kan nafas terakhir dengan keadaan ber­zikir dan diiringi dengan suara zikir dari orang-orang yang ada di sekitarnya.
Sebelum me­ng­hembuskan na­fas­nya yang terakhir, ia min­ta diwudhui. Maka Syaikh Abbas Bahafash me­wu­dhui­nya. Ketika Syaikh Abbas lupa menyela-nyela jang­gutnya, ia pun meng­ingat­kan­nya dengan gerakan ta­ngan, sebab pada waktu itu ia sudah tak dapat berkata-kata.
Habib Umar meng­hembuskan na­fas­nya yang terakhir di tengah malam, yakni ma­lam Kamis, 23 Rabi’ul Akhir 1072 H/18 Desember 1661 M. Wafatnya Habib Umar membuat murid-murid dan pengi­kut­nya bersedih sangat mendalam. Ia wa­fat di desa Nafhun namun dimakamkan di desa Huraidhah pada hari Kamis sore. Para pelawat jenazahnya mengadakan pem­ba­caan Al-Qur’an dan mengkha­tam­kan­nya berkali-kali dan hal itu berlang­sung selama delapan hari di sisi kubur­nya.
Di antara kata-kata mutiara Habib Umar Al-‘Aththas adalah, “Perhatikanlah kebiasaan baik yang engkau inginkan. Wafatlah dalam kebiasaan itu. Karena itu, tetaplah engkau dalam kebiasaan seperti itu. Dan perhatikanlah pula kebiasaan bu­ruk yang tidak engkau inginkan wafat da­lam kebiasaan seperti itu, karena itu jauhilah kebiasaan itu”
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

could

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Intisyarul Ulum - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template